HADIS LARANGAN MEMBACA AL-QUR’AN BAGI WANITA HAID DAN JUNUB RIWAYAT
AT-TIRMIDZÎ
A.
Latar belakang masalah
Segala puji hanya milik Allah swt. Kita
selalu memuji-Nya, memohon pertolongan, ampunan, dan petunjuk-Nya. Kita
berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita dan dari keburukan amal
perbuatan kita.
Barang siapa yang diberi hidayah oleh
Allah, maka dialah orang yang mendapat petunjuk. Dan barang siapa yang
disesatkan oleh-Nya, maka tidak ada yang akan menjadi penolong dan penuntunnya.
Kita bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang
berhak diibadahi kecuali Allah dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan kita bersaksi
pula bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.[1]
Umat islam mempunyai dua sumber ajaran
agama, yakni al-Qur’an dan hadis. Al-Quran adalah firman Allah swt, yang
merupakan dasar syariat dan mengandung mukjizat, yang diturunkan kepada
Rasulullah Muhammad SAW untuk kepentingan dirinya dan seluruh umat manusia.
Sedangkan hadis adalah ucapan, perbuatan, atau penetapan Rasulullah. Semua yang
didapat dari Rasulullah SAW selain al-Quran ataupun praktiknya, disebut juga
hadits atau sunnah.
Semangat untuk membaca al-Qur’an telah
diperintahkan oleh Allah SWT kepada kita semua, terkhusus umat islam, baik
laki-laki mapun perempuan, “Bacalah dengan (menyebut) nama tuhanmu yang
Menciptakan. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam.
Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (QS. al-Alaq:
1-5).[2]
Kata “Iqra’” disini memang sering kali tidak hanya diartikan dengan
membaca secara tekstual terhadap teks-teks bacaan, kata Iqra’ memang
bisa dimaknai secara meluas dengan arti mendalami, menelaah, meneliti,
memahami, dan mengetahui tentang keadaan sesuatu, akan tetapi arti “membaca”
lah yang pertama kali dipakai untuk memaknai arti Iqra’ sesuai dengan
arti harfiahnya.
Oleh karenanya kita sebagai orang islam
hendaknya mempunyai semangat dan motivasi untuk senantiasa membaca al-Qur’an,
meskipun sedikit akan tetapi terus-menerus itu lebih disukai daripada banyak
akan tetapi sekali. Dan disebagian ayat al-Qur’an dan hadis sendiri telah
memerintahkan dan mendorong kita untuk senantiasa membaca al-Qur’an, baik itu
laki-laki maupun perempuan. Dan memang semangat membaca al-Qur’an pun telah
terpancar diwajah kaum muslimin, terbukti dengan adanya perlombaan-perlombaan
Qira’atu al-Qur’an, perlombaan mengahafal al-Qur’an, atau sekedar acara mengaji
di surau-surau atau musholla.
Namun demikian, satu hadis yang
diriwayatkan oleh at-Tirmidzî mengatakan bahwa orang (wanita) yang sedang haid
dan orang junub tidak boleh membaca al-Qur’an.
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تَقْرَإِ
الْحَائِضُ وَلاَ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ » (رَوَاهُ الًتِّرْمِذِي(
Artinya: dari Ibnu Umar dari nabi
Muhammad saw bersabda : “Tidak boleh seorang yang haid dan junub membaca
sedikitpun dari al-Qur’an”. (HR.
At-Tirmidzî)
Dengan adanya hadis di atas seolah
membatasi gerak dan ruang lingkup dalam membaca al-Qur’an, artinya hanya orang
(wanita) yang tidak haid dan orang yang tidak junub yang boleh membaca
al-Qur’an, sedangkan orang yang haid dan sedang junub tidak boleh membaca
al-Qur’an.
Secara logika dan kebiasaan, orang yang
sedang dalam keadaan junub (yakni keadaan kotor karena keluarnya nutfah atau
bersetubuh yang mewajibkan seseorang mandi dengan membasahi tubuh dari ujung
rambut sampai ke ujung kaki) tentu ia akan segera bersuci setelahnya, jarang
kita temukan orang yang junub menunda-nunda sampai sehari, dua hari, bahkan
sampai tiga hari dan seterusnya, oleh karenanya tentu boleh membaca al-Qur’an
setelahnya. Namun berbeda sekali dengan
wanita yang sedang haid, ia memiliki siklus yang cukup lama dibandingkan dengan
sekedar orang junub, ada yang satu minggu, ada yang dua minggu, bahkan lebih.
Artinya ia baru bisa bersuci manakala telah usai masa haidnya. seperti
permasalahan yang sering terjadi ketika perempuan dalam proses menghafal
al-Qur’an jika mereka haid berarti mereka tidak dapat mengulang hafalannya,
padahal kebiasaan wanita haid adalah tujuh hari dan tidak sedikit pula wanita
yang haid sampai sembilan hari, duabelas hari bahkan ada juga yang sampai
setengah bulan. Maka jika pada masa-masa haid seorang wanita sama sekali tidak
mengulang hafalanya ditakutkan lupa dan bisa lupa dengan hafalan yang telah
mereka hafal padahal semangat untuk tetap menghafal dan mengingat juga layak
dimiliki seorang wanita yang dalam keadaan haid.
Misalkan juga ketika murid perempuan
ujian materi al-Qur’an dan dia dalam keadaan haid, kemudian masa haidnya lama
sehingga tidak mungkin mengikuti ujian tersebut kecuali jika haidnya berhenti
maka hal ini akan sangat merugikan bagi murid perempuan. Permasalahan lain
ketika murid-murid perempuan ( terutama para ibu guru mereka ) telah menginjak
usia baligh. Maka, jika mereka enggan membaca al-Qur’an pada masa-masa haid,
berarti seperempat tahun dalam setiap tahunnya mereka terjauh dari al-Qur’an.
Itu pun dengan catatan seorang murid perempuan tidak pernah absen dari
pelajaran dan sang guru tidak pernah absen dari tugas mengajar. Akibatnya,
pelajaran al-Qur’an di sekolah jadi terabaikan.
Penulis sengaja mengambil hadis tentang
“membaca” al-Qur’an ini, karena menurut penulis “ membaca” itu lebih luas
maknanya daripada sekedar menyentuh, membaca memuat arti menghafal, mengkaji,
menyimak, apalagi mengingat zaman yang modrn ini, teks-teks al-Qur’an tidak
hanya terdapat di mushaf saja, tetapi juga terdapat diberbagai media
elektronik, di hp, di laptop dan lain sebagainya.
Inilah yang mendasari penulis untuk
membuat makalah singkat ini, yakni melacak validitas keshahihan hadis at-Tirmidzî,
karena mengingat bahwa dilihat dari periwayatannya, hadits berbeda dengan
al-Qur’an. Semua periwayatan ayat-ayat dalam al-Qur’an berlangsung secara mutawâtir, sedangkan hadis Nabi
SAW sebagian lainnya diriwayatkan secara ahad. Oleh sebab itu, al-Qur’an
karena periwayatannya yang mutawâtir menjadi qat’i al-wurûd
dan tidak membutuhkan penelitian tentang otentitasnya, sementara hadis Nabi
karena periwayatannya sebagian secara ahad yang bersifat ẓanni al-wurûd,
maka diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui keasliannya apakah
benar berasal dari Nabi atau bukan.
B.
Rumusan Masalah
Dari deskripsi latar belakang yang telah penulis paparkan diatas,
maka dapat dirumuskan pokok permasalahan yang dijadikan landasan dalam
pembahasan risalah ini. Adapun pokok-pokok masalah tersebut adalah
1.
Bagaimanakah
kualitas hadis tentang larangan untuk membaca al-Qur’an bagi wanita haid dan
orang junub dalam riwayat at-Tirmidzî?
2.
Bagaimanakah kehujjahan
hadis larangan membaca al-Qur’an bagi wanita haid dan orang junub?
C.
Langkah-langkah penelitian hadis
1. Takhrîj Hadis
Menurut bahasa
takhrîj dari asal kata خَرَّجَ – يُخَرِّج – تَخْرِيْجًا ,[3]yang
artinya “mengeluarkan”. Kata takhrîj sering dimutlakkan pada beberapa
macam pengertian, dan pengertian yang popular dan mudah dipahami untuk kata takhrîj
adalah al-istimbat yang artinya “hal yang mengeluarkan”. Sedangkan menurut
istilah yang biasa dipakai oleh ulama’ hadis, kata takhrij mempunyai
beberapa arti, yakni:
a. Mengemukakan
hadis kepada orang banyak dengan menyebutkan para periwayatnya dalam sanad yang
telah menyampaikan hadis itu dengan metode periwayatan yang mereka tempuh.
b. Menunjukkan
asal-usul yang hadis dan mengemukakan sumber pengambilannya dari berbagai kitab
hadis yang disusun oleh para mukharrij-nya langsung (yakni para periwayat yang
juga sebagai penghimpun bagi hadis yang mereka riwayatkan).
c. Mengemukakan
hadis berdasarkan sumbernya atau berbagai sumbernya, yakni kitab-kitab hadis
yang didalamnya disertakan metode periwayatannya dan sanadnya masing-masing.
d. Menunjukkan
atau mengemukakan letak asal hadis pada sumbernya yang asli, yakni berbagai
kitab yang didalamnya dikemukakan hadis itu secara lengkap dengan sanadnya
masing-masing, kemudian untuk kepentingan penelitian, dijelaskan kualitas hadis
yang bersangkutan.
Adapun
perlunya kegiatan takhrij dalam penelitian suatu hadis diantaranya adalah:
a. Untuk
mengetahui asal-usul riwayat hadis yang akan diteliti. Tanpa diketahui
asal-usulnya, maka sanad dan matan hadis sulit diketahui susunannya menurut
sumber pengambilannya, oleh karena itu takhrîj sangat diperlukan.
b. Untuk
mengetahui seluruh riwayat bagi hadis yang akan diteliti. Hadis yang akan
diteliti mungkin mempunyai lebih dari satu sanad. Maka setelah dikumpulkan
diketahuilah seluruh periwayat hadis, mungkin saja salah satu riwayat itu
berkwalitas daif atau sahih maka kegiatan takhrîj sangat diperlukan.
c. Untuk
mengetahui ada tidaknya syahid [4]
dan muttabi’ [5]
pada sanad yang diteliti. Dalam hal ini untuk mengetahui apakah ada
pendukungnya atau tidak.[6]
2. Teks Hadis
Setelah penulis melacak dan mencari teks-teks
hadis tentang larangan membaca al-Qur’an bagi wanita haid dan orang junub dalam
sunan at-Tirmidzî, ternyata penulis hanya menemukan satu hadis saja yang
berkaitan dengan masalah ini. Yakni terdapat dalam Sunan At-Tirmidzî,
kitab Abwâbu al-Thahârati bab Mâ Jâ’a fī al-Junubi
wa al-Haidi Annahuma La Yaqra’ al-Qur’ân,
no 131.
حَدَّثَنَا عَلِىُّ بْنُ حُجْرٍ
وَالْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ قَالاَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ عَنْ
مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله
عليه وسلم- قَالَ « لاَ تَقْرَإِ الْحَائِضُ وَلاَ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ
الْقُرْآنِ » (رَوَاهُ الًتِّرْمِذِي
فِي سُنَنِهِ)
Artinya :
“Telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Hujr dan Hasan bin
‘Arafah, keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ismâ’il bin ‘Ayyâsy
dari Mûsa bin Uqbah dari Nâfi’ dari Ibnu Umar dari nabi Muhammad saw bersabda :
“Tidak boleh seorang yang haid dan junub membaca sedikitpun dari
al-Qur’an”. (HR. At-Tirmidzî dalam kitab
sunannya)[7]
Selain
terdapat dalam sunan at-Tirmidzî, hadis mengenai larangan
membaca al-Qur’an bagi wanita haid dan orang junub ini juga terdapat dibeberapa
kitab sunan dan musnad, diantaranya yaitu:
1.
Sunan Baihaqî
أَخْبَرَنَا
أَبُو عَلِىٍّ الرُّوذْبَارِىُّ وَأَبُو مُحَمَّدٍ : عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَحْيَى
بْنِ عَبْدِ الْجَبَّارِ السُّكَّرِىُّ قَالاَ أَخْبَرَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ
مُحَمَّدٍ الصَّفَّارُ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ حَدَّثَنَا
إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ
عُمَرَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ :« لاَ تَقْرَأُ
الْحَائِضُ وَلاَ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ » (رَوَاهُ اْلبَيْهَقِي فِي
سُنَنِهِ)
Artinya:
“Telah mengkhabarkan kepada kami Abû ‘Ali al-Rûdzabâri dan Abû Muhammad,
Abdullah bin Yahya bin Abdi al-Jabbâr al-Sukkrî keduanya berkata, telah mengkhabarkan
kepada kami Ismâ’il bin Muhammad al-shafar, telah menceritakan kepada kami al-Hasan
bin ‘Arafah telah menceritakan kepada kami Ismâ’il bin ‘Ayyâsy dari Mûsa bin
Uqbah dari Nâfi’ dari Ibnu Umar Rasulullah SAW bersabda: “Tidak boleh seorang
yang haid dan junub membaca sedikitpun dari al-Qur’an”. (HR. Baihaqî dalam kitab
sunannya)[8]
2.
Sunan Ibnu Mâjah
حَدَثَنَا
هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ ، حَدَّثَنَا
مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ ، عَنْ نَافِعٍ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ : « لاَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ الْجُنُبُ ،
وَلاَ الْحَائِضُ » (رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَة فِي سُنَنِهِ)
Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Hisyâm bin ‘Ammâr, telah menceritakan kepada
kami Ismâ’il bin ‘Ayyâsy, telah menceritakan kepada kami Mûsa bin Uqbah dari Nâfi’
dari Ibnu Umar berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak boleh seorang yang
junub dan haid membaca al-Qur’an”. (HR. Ibnu Mâjah dalam sunannya)[9]
3.
Sunan At-Dâruqutnî ( ada 2 riwayat)
a. Riwayat Ibnu Umar
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ
عَبْدِ الْعَزِيزِ ، حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ رُشَيْدٍ ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ
بْنُ عَيَّاشٍ عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم :
« لاَ يَقْرَأُ الْجُنُبُ ، وَلاَ الْحَائِضُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ »
(رَوَاهُ اْلدَارُقُطْنِي فِي سُنَنِهِ)
Artinya: “Telah menceritakan
kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Abdul Azîz, telah menceritakan kepada
kami Dawud bin Rusyaid, telah menceritakan kepada kami Ismâ’il bin ‘Ayyâsy dari
Mûsa bin Uqbah dari Nâfi’ dari Ibnu Umar berkata, Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak boleh orang yang junub dan haid membaca al-Qur’an sedikitpun dari
al-Qur’an”. (HR. Ad-Dâruqutnî dalam kitab sunannya)[10]
b. Riwayat Jâbir:
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَلِىٍّ
الأَبَّارُ حَدَّثَنَا أَبُو الشَّعْثَاءِ عَلِىُّ بْنُ الْحَسَنِ الْوَاسِطِىُّ
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ أَبُو خَالِدٍ عَنْ يَحْيَى عَنْ أَبِى الزُّبَيْرِ عَنْ
جَابِرٍ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : « لاَ يَقْرَأُ الْحَائِضُ وَلاَ
الْجُنُبُ وَلاَ النُّفَسَاءُ الْقُرْآنَ ». (رَوَاهُ اْلدَارُقُطْنِي
فِي سُنَنِهِ)
Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Ziyâd, telah
menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Ali al-Abbâr, telah menceritakan kepada
kami Abû al-Sya’tsâi ‘Ali bin al-Ḥasan al-Wâsithi, telah menceritakan kepada
kami Sulaiman Abû Khâlid dari Yahya dari Abî al-Zubair dari Jâbir berkata,
Rasulullah SAW bersabda: “Tidak boleh seorang yang haid, junub, dan nifas
membaca al-Qur’an”. (HR. Ad-Dâruqutnî dalam kitab sunannya)[11]
4.
Musnad Al-Bazzâr
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ ،
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ ، عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ ، عَنْ
نَافِعٍ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، عَن النَّبِيّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم ،
قَالَ : « لاَ يَقْرَأُ الْجُنُبُ وَالْحَائِضُ ، شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ »
(رَوَاهُ الْبَزَّارُ فِي مُسْنَدِهِ)
Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin ‘Arafah, telah menceritakan
kepada kami Ismâ’il bin ‘Ayyâsy dari Musa bin Uqbah dari Nâfi’ dari Ibnu Umar
dari Nabi SAW bersabda: “Tidak boleh seorang yang junub dan haid membaca
sedikitpun dari al-Qur’an”. (HR. Al-Bazzâr dalam musnadnya)[12]
5.
Mu’jam Al-Muqri’
حَدَّثَنِي أَبُو بَكًرٍ مُحَمَّدُ بْنُ
جَعْفرٍ بْنِ يَحْيَى بْنِ رُزَيْنِي الْعِطَارِ الْحَمْصِي بِحَمْصٍ فِي مَا قَرَأْتُهُ
عَلَيْهِ ، فَأَقَرَّ لِي بِهِ ، حَدَّثَنَا أَبُوْ إِسْحَاق إِبْرَاهِيْمُ بْنُ
الْعَدَاءِ الْزُبَيْدِي زَبْرِيْق ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيْلُ بْنُ عَيَّاشٍ ،
ثَنَا مُوْسَى بْنُ عُقْبَةَ وَعُبَيْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ ، عَنْ نَافِعٍ ، عَنْ
إِبْنِ عُمَرَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : «
لاَ يَقْرَأُ الْجُنُبُ وَلَا الْحَائِضُ شَيْئًا مِنَ اْلقُرْآنِ » (رَوَاهُ
إِبْنُ الْمُقْرِئٍ فِي مُعْجَمِهِ)
Artinya: “Telah menceritakan kepadaku
Abû bakar Muhammad bin Ja’far bin Yahya bin Rujaini al-‘Ithâr al-Hamshî mengenai al-Qur’an
yang aku baca kepadanya, maka tetapkanlah hukum kepadaku, telah menceritakan
kepada kami Abû Ishâq Ibrâhim bin al-‘Adâ’i al-Zubaidî Zabriq, telah menceritakan kepada
kami Ismâ’il bin ‘Ayyâsy, telah menceritakan kepada kami Mûsa bin Uqbah dan
Ubaidillah bin Umar dari Nâfi’ dari Ibnu Umar berkata, Rasulullah bersabda:
“Tidak boleh seorang yang junub dan haid membaca sedikitpun dari al-Qur’an”
(HR. Ibnu al-Muqri’ dalam mu’jamnya).[13]
3.
I’tibâr
Setelah
dilakukan kegiatan takhrîj sebagai langkah awal penelitian untuk hadis
yang diteliti, maka seluruh sanad hadis dicatat dan di himpun untuk kemudian
dilakukan kegiatan al-i’tibâr.
Kata al-I’tibâr
(الاعتبار) merupakan masdar dari kata "اعتبر" . menurut bahasa
al-I’tibār adalah “peninjauan terhadap berbagai hal dengan maksud untuk dapat
diketahui sesuatunya yang sejenis”.
Menurut
istilah ilmu hadis, al-I’tibâr berarti menyertakan sanad-sanad
yang lain untuk hadis tertentu, yang hadis itu pada bagian sanadnya tampak
hanya terdapat seorang periwayat saja, dan dengan menyertakan sanad-sanad yang
lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak
ada untuk bagian sanad dari hadis yang dimaksud.
Dengan
dilakukannya i’tibâr, maka akan terlihat dengan jelas seluruh jalur
sanad hadis yang diteliti, demikian juga nama-nama periwayatnya, serta metode
periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan.
Jadi, kegunaan i’tibâr adalah untuk mengetahui keadaan sanad hadis
seluruhnya dilihat dari ada atau tidaknya pendukung berupa periwayat yang
berstatus sebagai muttabi’ atau syahid. Yang dimaksud muttabi’ (biasa
disebut tâbi’ dengan jamak tawâbi’) ialah periwayat yang berstatus pendukung
pada periwayat yang bukan sahabat nabi. Sedangkan pengertian syahid (dalam
istilah ilmu hadis biasa disebut dengan kata jamak yakni syawāhid) ialah
periwayat yang berstatus pendukung yang berkedudukan sebagai sahabat nabi.
Melalui i’tibâr akan dapat diketahui apakah sanad hadis yang diteliti
memiliki muttabi’ dan syahid.[14]
Dilihat dari
skema hadis dengan masing-masing mukharrij yang telah dipaparkan diatas
bahwa sahabat nabi yang meriwayatkan hadis mengenai larangan membaca al-Qur’an
bagi wanita haid dan orang junub adalah sahabat Ibnu Umar dan Jâbir. Dengan
demikian periwayat yang berstatus sebagai syahid bagi hadis at-Tirmidzî adalah
Jâbir (hadis riwayat Ad-Dâruqutnî). Sedangkan periwayat yang berstatus sebagai muttabi’ adalah:
1. Hadis at-Tirmidzî
yang bersanadkan ‘Ali bin Hujri dan Hasan bin ‘Arafah, Ismâ’il
bin ‘Ayyâsy, Mûsa bin Uqbah, Nâfi’.
2. Hadis riwayat
al-Baihaqî
yaitu Abū ‘Ali al-Rūżabāri dan Abū Muhammad, Abdullah bin Yahya bin ‘Abdi
al-Jabbâr al-Sukkrî, Ismâ’il bin Muhammad aṣ-Ṣafari.
3. Hadis riwayat
Ad-Dâruqutnî
yaitu ‘Abdullah bin Muhammad bin Abdul Azîz, Dâwûd bin Rusyaid. Dan hadis Ad-Dâruqutnî yang bersanadkan Ahmad bin Muhammad
bin Ziyâd, Ahmad bin Ali al-Abbâr, Abû asy-Sya’tsa’i ‘Ali bin al-Hasan
al-Wâsithi, Sulaiman Abû Khâlid, Yahya, Abî az-Zubair
4. Hadis riwayat
Ibnu Mâjah yaitu Hisyâm bin ‘Ammâr.
5. Hadis riwayat
al-Bazzâr semua perawinya sama dengan perawi hadis at-Tirmidzî, oleh karena itu
tidak ada muttabi’ dalam riwayat al-Bazzâr.
6. Hadis riwayat al-Muqri’
yaitu Abû bakar Muhammad bin Ja’far bin Yahya bin Rujaini al-‘Ithîr al-Hamshî, Abû Ishâq Ibrâhim bin al-‘Adâ’i al-Zubaidi
Zabriq.
3 Biografi Sekilas Para Periwayat
Dalam hal ini penulis hanya akan memfokuskan pada para
perawi hadisnya at-Tirmidzî, Karena memang makalah ini fokus untuk membahas
hadits beliau, sebagaimana yang terdapat dalam latar belakang masalah.
Susunan para perawi hadis at-Tirmidzî
tentang larangan membaca al-Qur’an bagi wanita haid dan orang junub adalah Ibnu
Umar, Nâfi’, Mûsâ bin Uqbah, Ismâ’il bin
‘Ayyâsy, ‘Ali bin Hujr, dan Hasan bin ‘Arafah, At-Tirmidzî.
1. Ibnu Umar
Nama aslinya adalah Abdullah bin Umar bin al-Khattāb bin Nufail
al-Qurasyî al-Adawî. Sering disebut Abdullah bin Umar atau Ibnu Umar (lahir pada tahun 612 M) adalah seorang sahabat Nabi dan
merupakan periwayat hadis yang
terkenal. Ia adalah anak dari Umar bin Khattâb, salah
seorang sahabat utama Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin yang kedua, dan ayah dari Abdurrahman al-Makî (nama “Abû Abdurrahman” sekaligus
menjadi kuniyahnya).
Pujian dari Sahabat
Kesalehan Ibnu
Umar sering mendapatkan pujian dari kalangan sahabat Nabi dan kaum muslimin
lainnya. Jâbir bin
Abdullah berkata:
" Tidak ada di antara kami disenangi oleh dunia dan dunia senang
kepadanya, kecuali Umar dan putranya
Abdullah." Abû Salamah bin Abdurrahman mengatakan: "Ibnu Umar
meninggal dan keutamaannya sama seperti Umar. Umar hidup pada masa banyak orang
yang sebanding dengan dia, sementara Ibnu Umar hidup pada masa yang tidak ada
seorang pun yang sebanding dengan dia".
Ibnu Umar adalah seorang pedagang
sukses dan kaya raya, tetapi juga banyak berderma. Ia hidup sampai 60 tahun
setelah wafatnya Rasulullah. Ia kehilangan pengelihatannya pada masa tuanya. Ia
wafat dalam usia lebih dari 80 tahun, dan merupakan salah satu sahabat yang
paling akhir yang meninggal di kota Makkah.
Dalam ilmu hadis semua ulama’ bahwa semua sahabat adalah adil, baik
mereka yang terlibat fitnah atau tidak (كلهم عدول)[15]
sehingga kualitas ke- tsiqahanya tidak perlu diragukan lagi.
2.
Nâfi’
Nama aslinya adalah Nâfi’ bin Hurmûz (Hurmuz
dinisbatkan pada nama ayahnya, ada juga yang mengatakan bin Kawus), beliau
lebih dikenal dengan nama Nâfi’ Maula Abdullah bin Umar bin al-Khattâb al-Qurasyî
al-‘Adawî. Nama julukannya adalah Abû Abdullah al-Madanî. Beliau berasal dari
Naisaburi, ada yang mengatakan dari Kabul, namun setelah itu ia menetap dan
berdomisili di Madinah.
Komentar ulama’ terhadap Nâfi’:
1.
Muhammad bin Sa’ad
menyebutkan: beliau termasuk kalangan sahabat yang berdomisili di Madinah, tsiqah,
banyak meriwayatkan hadis.
2.
Basysyar bin Umar
al-Zihrânî berkata: “Aku percaya informasi dari umar yang disampaikan oleh Nâfi’.
3.
Uṡman bin Sa’îd al-Dârimî
berkata: Tsiqah
4.
Al-Ijliyyu berkata: termasuk
kalangan sahabat madinah, ia tsiqah.
5.
Ibnu Khirasy
berkata: Tsiqah
6.
An-Nasâ’i berkata: Tsiqah
3.
Mûsâ bun Uqbah
Nama lengkapnya adalah Mûsâ bin Uqbah bin Abî
‘Ayyâsy al-Qurasyî al-Asadī al-Miṭrafī, nama julukan beliau adalah Abû Muhammad
al-Madanî. Beliau adalah pelayan keluarga Zubair bin ‘Awwâm, beliau
sehari-harinya berdomisili di Madinah. Beliau wafat pada tahun 141 H
Komentar para Ulama’ terhadap Mûsâ bin ‘Uqbah:
1.
Ibnu Mundir
mengatakan: Tsiqah
2.
Muhammad bin Sa’îd
berkata di dalam kitab shaghirnya: beliau termasuk kalangan tâbi’in yang
tsiqah dan banyak meriwayatkan hadis
3.
Abû Khâtim: beliau
orang yang salih
4.
Ahmad bin Hambâl: Tsiqah
5.
An-Nasâ’i: Tsiqah
6.
Ibnu Hâjar al-Asqalânî:
Tsiqah lagi faqîh
7.
Yahya bin Ma’in: Tsiqah
4.
Ismâ’il bin ‘Ayyâsy
Nama lengkap beliau adalah Ismâ’il bin ‘Ayyâsy
bin Sulaim al-‘Ansî, Abû Khâtim ‘Utbah al-Khamshî. Beliau sering dijuluki
dengan nama Abû ‘Utbah. Al-Mufaddil mengatakan bahwa al-‘Ansî adalah nisbah
kepada tuannya, karena Ismâ’il bin ‘Ayyâsy adalah pembantu dari Ansi. Para
ulama hadis berbeda pendapat mengenai tanggal kelahiran beliau, ada yang
mengatakan pada tahun 102 H, ada yang mengatakan yang mengatakan 105 H, ada
yang mengatakan 110 H, ada yang mengatakan 106 H, ada yang mengatakan 108 H.
Para ulama’ hadis juga berbeda pendapat mengenai tanggal wafat beliau, ada yang
mengatakan pada tahun 181 H, ada pula yang mengatakan 182 H. Keseharin beliau
atau semasa hidupnya berdomisili di Negara Syam.
Komentar ulama’ terhadap Ismâ’il bin ‘Ayyâsy:
1.
Bukhāri berkata:
jika ia meriwayatkan hadis di kalangan penduduk negerinya sendiri yakni Syam
maka hadisnya sahih, tetapi bila ia meriwayatkan hadis selain dari Syam maka
hadisnya dipertanyakan ( banyak pendapat disana).
2.
Ad-Dârimî berkata:
Ismâ’il bin ‘Ayyâsy dipercaya dikalangan orang-orang Syam, namun dicela/kacau
dikalangan orang-orang Madinah.
3.
Ya’qub berkata:
komentar satu kaum mengenai Ismâ’il bin Ayyâsy, “kebanyakan orang lebih
mengenal beliau meriwayatkan hadis di Syam, tsiqah lagi adil, tidak ada
orang yang membantahnya”, dan kebanyakan orang tidak percaya jika ia
meriwayatkan hadis di kalangan orang-orang madinah maupuan makkah karena
biasanya ia meriwayatkannya sendiri.
4.
Yahya bin Ma’în
berkata: Ismâ’il bin ‘Ayyâsy tsiqah riwayatnya di kalangan orang-orang
Syam, sedangkan riwayatnya dikalangan orang-orang Hijaj dan Iraq dinilai kacau
hafalannya, bahkan orang-orang Iraq tidak suka hadis yang diriwayatkan
darinya.
5.
Ibnu Abî Syaibah
berkata: riwayat hadisnya dipercaya jika dari kalangan sahabat di Syam,
sedangkan hadisnya dianggap daif selain dari kalangan sahabat di Syam.
6.
Ahmad bin hambâl
berkata: Husnu riwayatihi 'an al-Syamiyyin.
7.
‘Ali bin al-Madani
berkata: Tsiqah bila meriwayatkan hadis dikalangan penduduk Syam, dan daif
selain di Syam.
8.
Ibnu Hâjar
al-Asqalânî berkata: ia jujur bila meriwayatkan dari negrinya sendiri yakni
Syam
9.
Amru bin Al Fallas: Tsiqah
bila meriwayatkan hadis dikalangan penduduk Syam, dan daif selain di Syam.
5.
Hasan bin ‘Arafah
Nama lengkapnya adalah Al-âasan bin ‘Arafah bin
Yâzid al-‘Abdî, nama kunyahnya adalah Abû ‘Ali al-Bagdadi al-Muaddib. Beliau
termasuk kalangan Tâbi’ul Atbâ’ kalangan tua. Semasa hidup beliau lebih banyak
berdomisili di Bagdad. Dikatakan bahwa beliau wafat pada tahun 257 H.
Komentar ulama’ terhadap beliau:
1.
Ahmad bin Hambâl
berkata: beliau tsiqah dalam meriwayatkan hadis
2.
Ibnu Abî Khâtim
berkata: beliau orang yang terkenal dengan kejujurannya
3.
An-Nasâ’i berkata: La
ba’sa bih
4.
Ibnu Hâjar
al-Asqalânî berkata: Shudûq
5.
Yahya bin Ma’în
berkata: beliau tsiqah dalam meriwayatkan hadis
6.
‘Ali bin Ḥujr
Nama lengkap beliau adalah ‘Ali bin Hujr
bin ‘Iyâs bin Muqâtil bin Mukhadisy bin Musyamrij bin Khâlid al-Sa’dî. Nama
kunyah beliau adalah Abû Hasan al-Marwazīî
Mengenai tempat tinggal beliau, mula-mula
beliau tinggal di Bagdad, kemudian pindah ke Marwa dan menetap disana. Beliau
termasuk orang yang sangat hati-hati dalam menjaga hafalannya lagi tsiqah.
Beliau termasuk dari kalangan Tâbi'u al-Tâbi'in biasa.
Disebutkan bahwa tanggal kelahirannya adalah pada tahun 154 H, sedangkan
wafatnya pada tahun 254 Jumadil Ula.
Komentar ulama’ terhadap ‘Ali bin Hujr:
1.
Al-Mawarzî berkata:
beliau awalnya tinggal di Bagdad lalu pindah ke Marwa kemudian menetap di desa
Zarzam, beliau termasuk orang yang terpandang, beliau juga seorang hāfid.
2.
An-Nasâ’i berkata: Tsiqah,
hâfid, terpercaya.
3.
Abû Bakar al-Khattâb
berkata: Shudûq, hâfid
4.
Ibnu Hajar al-Asqalânî berkata: Tsiqah,
hâfid
5.
Al-dzahabi berkata: Hâfid
7.
At-Tirmidzî
Imam At-Tirmidzî nama lengkapnya adalah Abû Mûsâ
Muhammad Ibn ‘Îsâ Ibn Saurah Ibn Mûsâ Ibn Al-Dhahak As-Sulami Al-Bughi
Al-TirmidzÎ Al-Imam Al-‘Âlim Al-Bari’. Ahmad Muhammad Syakir menambahnya dengan
sebutan Al-Zhahir karena ia mengalami kebutaan di masa tuanya Imam Al-Tirmidzî terkenal dengan sebutan Abû Îsâ. Beliau dilahirkan
di tepi selatan sungai Jaihun, Usbekistan, di kota Tirmidz.
Komentar ulama’ terhadap At-Tirmidzî
1.
Ibnu Hibbân
menuturkan: “Abu 'Îsâ adalah sosok ulama yang mengumpulkan hadis, membukukan,
menghafal dan mengadakan diskusi dalam hal hadis.”
2.
Abû Ya'la al-Khalili
menuturkan: “Muhammad bin 'Îsâ at-Tirmidzî adalah seorang yang tsiqah menurut
kesepakatan para ulama, terkenal dengan amanah dandan keilmuannya.”[21]
D.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian mengenai biografi para perawi diatas, bahwa
hadis at-Tirmidzî yang bersanadkan Ibnu Umar, Nâfi’, Mûsâ bin Uqbah, Ismâ’il
bin ‘Ayyâsy, Hasan bin ‘Arafah, dan ‘Ali bin Hujr, kemudian
at-Tirmidzî adalah bersambung secara sanadnya, karena satu dengan yang lainnya
diantara mereka menjadi guru dan murid, dan memungkinkan untuk bertemu.
Namun dilihat dari kualitas dari masing-masing perawi berdasarkan
komentar para ulama’ diatas, terdapat perawi yang dinilai daif, yakni Ismâ’il
bin Ayyâsy. para ulama’ menilai bahwa riwayat Ismâ’il bin Ayyâsy dinilai daif
jika meriwayatkan hadis selain negerinya sendiri yakni di kalangan orang-orang
syam. Dan ternyata dalam hadis ini beliau meriwayatkannya dari Mûsâ bin Uqbah
yang ternyata berasal dari Madinah.
Oleh karenanya,
berdasarkan hasil kritik terhadap sanad yang telah penulis paparkan diatas,
maka hadis at-Tirmidzî tentang larangan membaca al-Qur’an bagi wanita haid dan
orang junub nilainya berstatus daif. Dengan
demikian hadis riwayat at-Tirmidzî ini tidak dapat dijadikan hujjah
terhadap larangan membaca al-Qur’an bagi wanita haid dan orang junub.
Imam al-Bazzâr dalam kitab ‘Illal al-Râzi
mengatakan bahwa yang benar hadis ini adalah mauquf yakni terhenti pada sahabat
Ibnu Umar, artinya ini bukanlah sabda Rasullah akan tetapi hanya perkataan Ibnu
Umar saja.[22]
Al-Hâfizh Ibnu Hâjar
al-Asqalânî mengatakan bahwa didalam kitab Bukhâri tak ada satupun hadis yang
menyangkut soal ini, yakni melarang orang junub dan perempuan haid membaca
al-Qur’an, dan ini diakui kebenarannya.[23]
Dan sejauh penelusuran penulis, memang tidak ditemukan satu hadispun yang
melarang perempuan haid maupun orang junub membaca al-Qur’an didalam sahih
Bukhâri dan sahih Muslim.
Sebagai implikasi dari penelitian diatas
maka dapat direkomendasikan bahwa hadis riwayat at-Tirmidzî ini tidak dapat dijadikan hujjah terhadap
larangan membaca al-Qur’an bagi wanita haid dan orang junub. Oleh karenanya
bagi orang junub terlebih bagi para wanita khususnya yang sudah aqil baligh
tetaplah boleh membaca alquran meskipun mereka dalam keadaan haid, lebih-lebih
bagi para ibu guru dan murid perempuan tetaplah bisa membaca, mempelajari,
menghafal, dan mengkaji al- Qur’an disekolah tanpa rasa takut lagi akan
larangannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Sayyid,
Salafuddin, Syarah Hadits Arba’in, Solo: Pustaka Arafah, 2007.
Baihaqi, Abu Bakar Ahmad bin Husain bin
‘Ali, al-, as-Sunan al-Kubra, Beirut: Dar al-Fikr, (tt.)
Daruqutni, Abu Hasan bin ‘Umar bin Ahmad
bin Mas’ud bin Nu’man bin Dinar bin Abdullah, al-, Sunan al-Daruqutni, Beirut:
Dar al-Ma’rifah, 1966.
Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemah, Jakarta:
Sygma Examedia Arkanleema, 2009.
Ibnu Majah, Abu Abdullah Muhammad bin
Yazid, Sunan Ibnu Majah, Mesir: Maktabah al-Rusy, 2005
Isma’il, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian
Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Miziy, al-Hafidz al-Mutqin Jamaluddin Abi
al-Hajjaj Yusuf, al-, Tahzib al-Kamal fi Asma’I al-Rijal, Beirut:
Muassasah al-Risalah, 1994
Munawwir, Ahmad
Warson, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta: PP Al-Munawwir,
1977.
Tirmidzi, Abu Musa
Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Dhahak al-Sulami al-Bughi, al-, Sunan
al-Tirmidzi, Mesir: Maktabah al-Rusy, 2005.
[1] Salafuddin Abū Sayyid, Syarah
Hadis ‘ Arba’in, (Solo: Pustaka Arafah, 2007), cet 1, hlm. 5
[2] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, (Jakarta:
Sygma Examedia Arkanleema, 2009) hlm. 577
[3] A.W. Munawwir, Kamus
Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), cet 4, hlm. 330
[4] Syahid adalah pendukung rawi tingkat pertama atau tingkat
sahabat, umpamanya suatu hadis diriwayatkan oleh Anas bin Mâlik dan Abdullah
bin Umar. Jika diteliti riwayat Anas bin Mâlik maka hadis riwayat Abdullah bin
Umar dipandang sebagai syahid.
[5] Muttabi’ adalah pendukung rawi pada tingkatan yang selain
tingkat pertama atau tingkat sahabat, misalnya riwayat Hammâd bin Yâzid dan
Suwaid bin Nasr. Keduanya berada pada jalur sanad yang sama pada tingkatan yang
sama. Jika yang diteliti Hammâd bin Yâzid maka Suwaid bin Nasr menjadi muttabi’
atau sebaliknya. Lihat Muhammad ‘Ajjaj al-Khâtib, Usul al-Hadis wa
Mustalahuhu, (Bairut: Dar al-‘Ilmi al-Malayin, 1977), hlm. 241-247.
[6] M.Syuhudi Isma’il, Metode Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta:
Bulan Bintang), cet 2, hlm. 39-42
[7] At-Tirmidzî, Sunan at-Tirmdzî, (Mesir: Maktabah al-Rusyd,
2005), cet 1, hlm. 1768
[8] Al-Baihaqî, Sunan al-Kubra, Kitab al-Haidu
bab al-Haid Lâ Tamassu al-Mushḥafu wala Taqra’u al-Qur’ân,
no. 1535, hlm. 309 (Maktabah Syamilah)
[9] Ibnu Mâjah, Sunan Ibnu Mâjah, Kitab al-Thahârah wa
Sunaniha bab Mâ Jâ’a fī Qirâ’ati al-Qur’ân ‘Ala Ghairi Thahâratin, (Mesir:
Maktabah al-Rusyd, 2005), cet 1, no. 595, hlm. 2747
[10] Ad-Dâruqutnî, Sunan Ad-Dâruqutnî, Kitab al-Thahârah bab
fī an-Nahyi Li al-Junubi wa al-Haidi ‘an Qirâ’ati al-Qur’ân, (Bairut:
Darul Ma’rifah, 1966) cet 4, no. 1, hlm. 117
[11] Ibid., no. 15, hlm. 121
[12] Al-Bazzâr, Musnad Al-Bazzâr, bab Musnad Ibnu Abbâs r.a, no.
5925, hlm. 250. (Maktabah Syamilah)
[13] Mu’jam Al-Muqri’, no. 94 (Maktabah Syamilah)
[14] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta:
Bulan Bintang, 2007), cet 2, hlm. 49-50.
[15] Sahabat dapat dikatakan adil dan hal ini disepakati oleh jumhur
ulama keadilan sahabat banyak disinggung dalam al-Qur’an dan Hadis. Di antara
ayat al-Qur’an yang menyebutkan adalah Q.S. al-Fath (48:29), at-Taubah (9:100),
al-Anfal (8:74), al-Hasyr (59:10), al-Fath (48:18), at-Taubah (9:32). Lihat
dalam beberapa kitab hadis. Lihat Muhammad ‘Ajjaj al-Khâtib, al-Sunnah Qabla
al-Tadwin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), hlm. 394-404. Jalaluddin
Abdurrahman bin Abû Bakar al-Suyuti, Tadrîbu al-Râwi fi Syarah Taqrîba al-Nawawi,
(al-Maktabah ‘Ilmiyyah bi al-Madinah al-Munawarah, 1972), jilid. 1, hlm. 214.
Dengan demikian keadilan sahabat dapat dilihat dari al-Qur’an, Hadis dan ijma.
[16] Al-Hâfizh al-Mutqin
Jamaluddin Abî al-Hajjaj Yûsuf al-Mizî, ditahkik oleh: Dr. Basyar Awar Ma’ruf, Tahzîb
al-Kamâl fi Asmâ’i al-Rijâl (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1415 H/1994 M), jilid.
29, hlm. 298
[17] Ibid, jilid 29, hlm.
115.
[18] Ibid, jilid 3, hlm.
162
[19] Ibid, jilid 6, hlm. 201.
[20] Ibid, jilid 20, hlm.
355
[21] At-Tirmiżi, Sunan At-Tirmiżi, (Mesir: Maktabah al-Rusy,
2005) cet 1, hlm. 11-12
[22] Muglaṭa, Syarah Ibnu Mâjah,
no.756, (Maktabah Syamilah)
[23] Sayyid Sabiq, Fiqh
Sunnah, (Bandung: PT Alma’arif, 1985) jilid 1, hlm. 124